FEMINIA- Sudah lebih satu setengah tahun pandemi COVID-19 melanda. Berbagai pola penanggulangan dan penanganan terhadap korban sudah diupayakan, namun seolah wabah semakin merajalela.
Tuntutan perubahan perilaku dari normal menjadi normal baru terus dikawal sebagai ikhtiar agar bisa bersama-sama terhindar dari kecepatan penularan virus.
Mulai dari skema 3M (memakai masker, mencuci tangan dengan sabun, dan menjaga jarak), ditambah 2M (menghindari kerumunan dan mengurangi mobilitas), hingga beberapa tingkat atau level Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM).
Berbagai skema pembatasan aktivitas terus dilakukan pemerintah dalam mengendalikan laju penularan virus dan syukur-syukur bisa memutus mata rantai penyebaran.
Pandemi bukan hanya terjadi pada saat ini, namun sudah beberapa kali terjadi dan merenggut banyak korban jiwa.
Mengulik data sejarah dan budaya nusantara, pada masa lalu penanganan wabah yang disertai kebijakan pembatasan aktivitas masyarakat juga pernah dilakukan di Pulau Bangka.
Pada masa Pulau Bangka di bawah kekuasaan Kesultanan Palembang Darussalam, aturan pembatasan aktivitas masyarakat saat terjadi pandemi penyakit sudah diatur dengan baik dalam ketentuan "Sindang Mardika" dan terbukti ampuh sebagai jalan keluar menangani pandemi di Pulau Bangka.
Sekitar 200 tahun lalu, pada masa awal pemerintahan Sultan Ahmad Najamudin (1758-1777), Bangka di bawah Kesultanan Palembang Darussalam sudah semakin ramai penduduk seiring dengan pembukaan penambangan timah yang cukup berhasil.
Pada masa itu, pemimpin atas Bangka yang berpusat di Mentok, Wan Akub yang bergelar Datuk Rangga Setia Agama, meninggal dunia dan digantikan Rangga bernama Wan Usman.
Wan Usman diangkat oleh Sultan Palembang Darussalam sebagai Rangga atau kepala pemerintahan dari sekalian tanah Bangka.
Jabatan Rangga sama dengan kedudukan menteri di Palembang dengan gelar Datuk Aji Rangga Usman serta dikaruniai satu kopiah emas, satu keris, empat tombak, dan satu tepak tanda sebagai kepala tanah Bangka.
Pada pelantikan Rangga Usman, Sultan memanggil semua patih dan batih pesirah tanah Bangka untuk memberikan mandat kepada Rangga (10 perkara/ketentuan) dan Batin Pesirah, Batin Pegandang, dan Batin Kecil (45 perkara/ketentuan).
Menurut pemerhati budaya Melayu Bangka yang tinggal di Mentok, Kabupaten Bangka Barat, Bambang Haryo Suseno, ketentuan yang dimandatkan Sultan kepada pemimpin pemerintahan di tanah Bangka tersebut kemudian dikenal sebagai "Sindang Mardika".
"'Sindang Mardika' merupakan sebuah hukum yang berlaku bagi seluruh tanah Bangka. Sekitar 200 tahun lalu," ujarnya.
"Sindang Mardika" bersumber dari aturan adat Bangka yang telah ada kemudian diperbaharui dan ditambah sesuai dengan aturan yang berlaku di Kesultanan Palembang Darussalam.
Salah satu ketentuan dalam aturan tersebut yakni pada perkara ke-36, disebutkan "Andainya ada penyakit keras atau sebab binatang buas di dalam kampung, maka itu kampung belum sampai itu perkara, maka itu kampung yang belum kena penyakit diberi tanda satu kayu yang terkupas di tengah jalan atau di tengah hutan yang mau masuk di kampungnya supaya jangan orang kampung yang punya penyakit masuk ke dalam dia punya kampung. Dan begitu juga jikalau melanggar segala kepercayaan atau pantangan yang kecil-kecil dari dia punya adat maka kena denda empat sampai 40 ringgit terbagi kepada segala orang yang di dalam kampung".
Aturan tersebut telah disiapkan terlebih dahulu oleh penguasa karena pada masa itu sering terjadi wabah atau serangan binatang buas.
Hal ini tertulis dalam cerita Sultan Ratu Mahmud Badarudin I (pada awal abad 18) yang memerintahkan dukun dan pengiringnya membuat obat untuk masyarakat Belinyu yang diserang penyakit menular.
Wabah penyakit selanjutnya terjadi pada masa Temenggung Kertamenggala (Abang Ismail), di mana seluruh Pulau Bangka terserang wabah penyakit cacar.
Dalam kasus ini, pemerintah pada masa itu memberlakukan aturan Perkara ke-36 "Pengangkat Tempoh" dalam "Sindang Mardika" sebagai upaya preventif untuk mencegah penularan semakin meluas dan memastikan aturan tersebut dilaksanakan secara tegas, bagi yang melanggar dikenakan denda dengan kewenangan pelaksanaan pemimpin lokal atau Batin.
Selain upaya preventif, Sultan juga mengirimkan dukun dan tabib dengan membawa berbagai jenis obat dari Palembang untuk pemulihan dan pengobatan terhadap rakyat yang sudah terlanjur sakit, kemudian masyarakat lokal Bangka menerapkan beberapa ilmu pengobatan tradisional dan mantera seperti pada komunitas adat orang Mapur-Bangka.
Pada masa lalu, pemahaman dan pengetahuan pemimpin dan masyarakat lokal di Pulau Bangka sudah cukup tinggi untuk melakukan isolasi wilayah dalam jangka waktu tertentu sebagai bagian dari pertahanan komunal dari ancaman, baik wabah maupun binatang buas berbahaya.
"Belajar dari kasus tersebut, pendekatan dalam peningkatan pemahaman budaya dan kearifan lokal perlu terus dilakukan untuk memudahkan pemerintah dalam pengendalian penularan COVID-19," kata Bambang Haryo.
Baca juga: HIMAS 2021 momen pengingat resiliensi masyarakat adat hadapi pandemi
Agar semakin efektif dalam penanganan pandemi, perlu adanya gerakan nyata dalam meningkatkan kepercayaan publik dan kepatuhan terhadap aturan atau ketentuan agar imbauan pencegahan preventif untuk tidak berkumpul yang telah dikeluarkan diikuti oleh seluruh lapisan masyarakat.
"Pada kondisi seperti saat ini dibutuhkan kerja sama yang solid dan efektif agar bisa bersama-sama melewati masa sulit seperti ini," katanya.
"Pindah kampong"
Jauh sebelum adanya ketentuan "Sindang Mardika" kebiasaan warga lokal kuno pada saat terjadi wabah juga biasa melakukan "pindah kampong" sebagai upaya mempertahankan diri agar tetap hidup pada saat terjadi bencana.
Menurut Pemerhati Sejarah dan Budaya Bangka Belitung yang tinggal di Kota Pangkalpinang, Ali Usman, pola pindah tempat tinggal dengan melibatkan seluruh anggota keluarga dalam satu kampung bersama-sama atau dalam bahasa Jawa disebut "bedol deso" juga dilakukan warga di Pulau Bangka.
Berdasarkan kesaksian beberapa warga, kata Ali Usman, cara "pindah kampong" pernah dan lazim terjadi pada masa lalu, baik untuk mencari lahan bercocok tanam baru atau "berume", menghindari perompak, ataupun menghindari wabah yang sedang terjadi.
"Salah satu lokasi kampung lama yang sengaja ditinggalkan penduduknya pernah kami jumpai di Simpangkatis, Kabupaten Bangka Tengah," katanya.
Warga setempat menyebut lokasi itu dengan Kampong Serai. Berdasarkan kesaksian warga di daerah itu, Kampong Serai merupakan kampung lama yang sengaja ditinggalkan warganya berpindah mencari kampung baru.
Ada beberapa alasan warga pada masa itu berpindah tempat, salah satunya untuk menghindari wabah yang sering terjadi, seperti penyakit cacar, malaria, tifus yang banyak menyerang warga Bangka, sedangkan untuk warga keturunan Tionghoa biasanya terserang beri-beri.
Pada saat "pindah kampong" dan mengawali pembukaan lahan atau lokasi baru inilah semangat gotong royong atau "besauh" terjadi.
"Semangat gotong royong yang dilakukan warga pada masa itu terjadi pada saat mereka mengerjakan pembukaan lahan baru dan membangun tempat tinggal yang dikerjakan secara bersama-sama," demikian Ali Usman menambahkan.
Untuk pola "pindah kampong" cukup sulit diterapkan pada masa kini karena keterbatasan lahan yang ada. Namun, cara ini mungkin masih bisa dilakukan warga dengan memperbanyak aktivitas di kebun guna menghindari keramaian dan interaksi langsung dengan banyak orang.
Dari sepenggal kisah kearifan lokal pindah kampung ini, paling tidak ada kebiasaan bergotong royong di tengah masyarakat yang bisa diterapkan sebagai pelengkap atas ketentuan pembatasan aktivitas yang dibuat pemerintah dalam "Sindang Mardika".
"Sindang Mardika" yang pernah diterapkan di Pulau Bangka sekitar 200 tahun lalu, sepertinya menarik untuk dimaknai kembali sebagai pertimbangan menghadapi ancaman pandemi saat ini.(mr/tar)