Beauty

[Beauty][bsummary]

Health

[Health][bsummary]

Fashion

[Fashion][bsummary]

Lifestyle

[Lifestyle][twocolumns]

Celebrity

[Celebrity][bleft]

Parenting

[Parenting][bsummary]

Community

[Community][bsummary]

Enterpreuner

[Enterpreuner][twocolumns]

Culinary

[Culinary][bsummary]

Travelling

[Travelling][twocolumns]

Khao San Road Thailand, Destinasi Para Backpacker Dunia



FEMINIA-Sebelum dikenal menjadi kawasan backpacker serta hotel dan bar murah, Jalan Khao San (Khao San Road) merupakan sentra penjualan beras terbesar di Bangkok, Thailand.

Dari atas perahu kayu sederhana, pedagang beras yang sebagian besar penduduk setempat, menyusuri Sungai Chao Phraya yang luas dan masuk ke muara Kanal Banglamphu, di mana mereka menurunkan ribuan ton dalam karung goni ke pedagang grosir di lingkungan itu.

Pada akhir abad ke-19, distrik Banglamphu sejauh ini merupakan pasar beras terbesar tidak hanya di Bangkok, tetapi di Thailand, negara yang tak hanya sering mendapat sebutan Negara Gajah tetapi juga negara penghasil beras terbesar di dunia.

Pedagang partai kecil membuka toko di daratan, di selatan kanal yang berbentuk gang. Keramaian jual beli beras membuat gang menjadi begitu padat, sehingga Raja Chulalongkorn memerintahkan pembuatan jalan yang layak pada 1892.

Hanya berjarak 410 meter, jalur berbatu tidak cukup megah untuk dinamai dengan nama seorang raja, sehingga hanya disebut Soi Khao San (Jalur Penggilingan Padi).

Banglamphu terus berkembang menjadi sentra penjualan beras, sehingga muncul pedagang lain yang mulai menjual pakaian (termasuk seragam sekolah siap pakai pertama di Thailand), sepatu kulit kerbau, perhiasan, sampai kostum teater klasik Thailand.

Kedatangan orang-orang teater yang berbelanja ikut melahirkan dua rumah komedi musikal, label rekaman nasional pertama Thailand (Kratai), dan salah satu bioskop film bisu pertama di Thailand.

Satu abad kemudian, serbuan para backpacker dunia seakan "menghapus" sejarah pasar tradisional ini.

Dimulai dengan kedatangan sekelompok kecil hippies yang menggemari budaya dan ritual pada akhir 1970-an, Khao San Road semakin ramai didatangi backpacker mancanegara pada 1990-an.

Ruko dua lantai

Joe Cummings, penulis buku panduan wisata Lonely Planet edisi Thailand pada 40 tahun yang lalu, bisa dibilang merupakan turis mancanegara yang mendokumentasi perkembangan Khao San Road.

Mengutip tulisannya di CNN, ia mengatakan kalau jalanan itu dipenuhi oleh bangunan ruko berlantai dua mulai abad ke-19.

Ruko-ruko banyak dibuka sebagai toko sepatu, kedai kopi Thailand-China, penjual mi, pedagang grosir, dan bengkel sepeda motor. Pemilik atau penyewanya tinggal di lantai dua.

Beberapa pedagang beras bertahan, tetapi karena truk roda telah mengambil alih lalu lintas perahu, transportasi dan perdagangan beras dipindahkan ke tempat lain.

Sementara Yaowarat, Pecinan Bangkok, adalah fokus komersial utama bagi pedagang dan penduduk Tionghoa, dan Phahurat diramaikan komunitas India, Banglamphu jelas merupakan wilayah yang kental dengan kehidupan khas Thailand.

Di sudut Jalan Chakkaphong dan Phra Sumen, toko-toko pengrajin masih membuat kostum dan topeng untuk pemain teater klasik Thailand.

Grand Palace, Kuil Buddha Zamrud (Wat Phra Kaew), Kuil Budha Berbaring (Wat Pho), dan Giant Swing, hanya berada dalam radius satu kilometer dari Jalan Khao San.

Pemandangan khas Thailand tersebut bisa dibilang atraksi wisata utama Khao San Road.

Jadi ketika Cummings melihat dua hotel China-Thailand di sana, ia langsung berpikir untuk merekomendasikannya di buku panduan sebagai tempat yang nyaman bagi para pelancong.

Hampir identik dengan fasilitas sederhana mereka, Nith Chareon Suk Hotel dan Sri Phranakhon Hotel bertarif US$5 (dengan kurs pada empat dekade yang lalu). Tamunya kebanyakan pedagang Thailand yang membeli barang grosir di Banglamphu untuk dijual di luar Bangkok.

Di gang sempit di dekatnya, Cummings bahkan sangat gembira saat menemukan VS Guest House, yang dibuka oleh salah satu keluarga di Banglamphu dengan arsitektur ala tahun 1920-an dan didominasi kayu. Tarif bermalamnya US$ 1,50 per kepala.

Cummings melanjutkan lagi perjalanannya ke dalam gang Khao San Road, sampai menemukan lagi dua wisma yang dikelola keluarga, Bonny dan Tum. Tarif bermalamnya kurang lebih sama dengan wisma sebelumnya.

Kedua hotel dan tiga wisma di Jalan Khao San itu masuk dalam buku panduan berjudul "Thailand: A Travel Survival Kit" yang pertama kali diterbitkan pada 1982.

Ketika ia kembali setahun kemudian untuk memperbarui info untuk edisi kedua, jumlah tempat penginapan bertambah lima kali lipat. Edisi kedua lalu diterbitkannya pada 1984.

Sejak saat itu, setiap kali Cummings kembali ke Banglamphu untuk pembaruan edisi, jumlah tempat penginapan telah berlipat ganda.

Dalam satu dekade, lebih dari 200 tempat penginapan terhitung buka hanya di Khao San Road.

3K: Khao San Road, Kathmandu, dan Kuta

Pada pertengahan 1990-an, Khao San Road menjadi salah satu pusat backpacker terbesar di dunia. Pesaingnya ialah Kathmandu dan Pantai Kuta. Mereka sering menyebut tiga kawasan ini sebagai 3K.

Selain menjadi destinasi impian backpacker, Khao San Road juga menjadi destinasi belanja di pasar gelap. Dari celana bergambar gajah khas Thailand sampai kartu identitas palsu bisa dibeli di sini.

Agen perjalanan wisata juga banyak yang buka, dengan spanduk bertulisan nama destinasi dan harga tiket pesawatnya, yang terkadang terasa terlalu murah.

Alex Garland, penulis novel 'The Beach' yang diterbitkan pada 1996 lalu filmnya diperankan oleh aktor pemenang Piala Oscar Leonardo Di Caprio dan dirilis pada 2000, diketahui amat terinspirasi dengan Khao San Road.

Perjalanan solonya menghasilkan tujuh bab pertama soal Jalan Khao San yang amat autentik. Sejak saat itu, Khao San Road menjadi semakin populer.

Di tahun yang sama saat 'The Beach' tayang di bioskop, produser musik elektronik Italia Spiller merilis video lagu dansanya "Groovejet (If This Ain't Love)," yang direkam di Bangkok dengan adegan akhir di mana Spiller dan penyanyi Inggris Sophie Ellis-Baxter menari di kelab malam Khao San Road.

Sebuah artikel di New Yorker pada tahun itu menggambarkan Khao San Road sebagai "destinasi yang patut dikunjungi untuk mengenal separuh dunia, dan juga yang teraman, termudah, paling kebarat-baratan untuk memulai perjalanan ke penjuru Asia."

Khao San Road hari ini

Menurut Khao San Business Association, pada 2018, jalan tersebut dikunjungi oleh 40 ribu-50 ribu wisatawan mancanegara per hari di musim ramai, dan 20 ribu per hari di musim sepi.

Dengan jumlah seperti itu, tidaklah mengherankan ketika pemerintah kota Bangkok mengumumkan pada 2019 bahwa mereka menginvestasikan US$1,6 juta untuk mengubah Khao San Road menjadi "jalan pejalan kaki internasional".

Mungkin digagas untuk melawan reputasi Khao San yang agak buruk, proyek ini akan selesai pada akhir tahun 2020, dengan gang dan jalan setapak yang sudah diperbaiki, dan area khusus untuk diisi 250-350 lapak pedagang berlisensi yang dipilih melalui undian.

Kendaraan dilarang berada di jalan dari jam 9 pagi sampai 9 malam setiap harinya.

Ketika pandemi virus Corona memaksa Thailand menutup perbatasannya pada April 2020, kedatangan turis internasional di Khao San Road seakan turun menjadi nol dalam semalam.

Khao San Road kembali ramai ketika perjalanan domestik diizinkan lagi pada Juli. Sayangnya saat Khao San Road yang telah direnovasi dibuka pada November 2020, hanya ada segelintir backpacker mancanegara yang terlihat di sana.

Bar di sepanjang jalan yang biasanya diisi oleh 80 persen wajah-wajah asal Eropa kini hampir 90 persen terisi oleh penduduk Thailand.

Khao San Road mengalami kemunduran lagi ketika gelombang kedua kasus virus Corona melonjak pada awal Januari 2021.

Pemerintah segera memerintahkan penutupan semua tempat hiburan di Bangkok, dan sekali lagi Khao San Road hampir seluruhnya kosong melompong.

'Turis hanya ingin berpesta'

Ketika Cummings mengunjungi kembali Khao San Road yang sepi pada akhir bulan lalu, ia memutuskan untuk singgah di VS Guesthouse, wisma pertama dan tertua yang masih berdiri.

Di saat tempat penginapan lain menutup pintunya, wisma itu masih terlihat buka.

Bisnis keluarga itu kini dikelola oleh generasi keempat. Rintipa Detkajon, kakak dari dua bersaudara yang mengurus wisma ini, mengenang bagaimana almarhum ayahnya, Vongsavat, mulai menerima tamu asing sekitar 1980 dan mengizinkan mereka untuk tidur di lantai ruang keluarga.

"Saya berusia sekitar 16 tahun ketika tamu pertama kami, seorang pria Australia, menginap malam itu," kenangnya.

"Orang asing saat itu bepergian dengan sangat tenang. Mereka tertarik pada sejarah dan budaya, tidak seperti anak muda yang kita lihat sekarang, yang tampaknya lebih tertarik untuk mabuk dan berpesta."

Keluarga tersebut terus memperluas rumah kayunya selama bertahun-tahun, pada satu titik mencapai puncaknya, 18 kamar. Mereka sekarang mengoperasikan 10 kamar dengan harga US$10 semalam.

Pada hari Cummings berkunjung, hanya satu kamar yang ditempati, oleh turis asal Amerika Serikat yang tinggal dalam jangka waktu lama.

Saya bertanya kepada Rintipa tentang sepinya bisnis karena pandemi.

"Bukan hanya kita yang terdampak, tapi seluruh orang di dunia," katanya.

"Kita akan bersama-sama melalui kondisi ini. Ini hidup kita, jadi kita akan bertahan hidup." (Fm/cnn)