FEMINIA-Berjalan setidaknya 11 menit sehari dapat mengurangi konsekuensi kesehatan yang tidak diinginkan akibat duduk selama berjam-jam, menurut sebuah studi baru dalam British Journal of Sports Medicine.
Dalam studi itu, seperti dilansir dari Channel News Asia, Sabtu ini, para peneliti menemukan, duduk untuk waktu yang lama menjadi hal biasa pada sebagian besar orang terutama di tengah pembatasan sosial akibat COVID-19.
Orang-orang lebih sedikit berolahraga namun lebih banyak duduk daripada setahun yang lalu, sebelum datang pandemi. Akibatnya, mungkin ada konsekuensi kesehatan jangka panjang dari perilaku ini salah satunya kematian.
Sebenarnya, seberapa aktif seseorang perlu bergerak untuk mengurangi kerugian dari duduk masih belum jelas. Ada yang berpendapat, jika dia duduk selama delapan jam, sebaiknya berjalan-jalan selama setengah jam di malam hari yang berarti mematuhi rekomendasi olahraga standar sekitar 30 menit olahraga hampir setiap hari.
Tetapi sebenarnya rekomendasi ini belum cukup. Sebuah studi tahun 2016 yang melibatkan lebih dari satu juta orang menemukan, pria dan wanita perlu berolahraga secara moderat selama sekitar 60-75 menit sehari untuk mengurangi efek duduk terlalu lama.
Walau begitu, para peneliti mengungkapkan, berolahraga setidaknya selama sekitar 11 menit sehari di tengah aktivitas, secara signifikan bisa memperkecil kemungkinan seseorang menghadapi risiko kematian dini akibat kurang bergerak alias duduk terus menerus.
Para peneliti menyimpulkan, manfaat aktivitas fisik salah satunya harapan hidup lebih panjang bisa dirasakan jika seseorang bergerak sekitar 35 menit sehari misalnya berjalan cepat atau aktivitas sedang lainnya.
Tentu saja, penelitian ini bersifat observasional dan tidak membuktikan olahraga menyebabkan orang hidup lebih lama. Tetapi dari sini, orang-orang bisa semakin paham pentingnya bergerak dan efek buruk duduk sepanjang hari.
"Jalan cepat adalah olahraga sedang yang sangat baik dan, dalam waktu setengah jam - atau bahkan kurang - dapat membantu memperpanjang harapan hidup kita," kata profesor epidemiologi dan aktivitas fisik di Norwegian School of Sport Sciences, Oslo, Norwegia, Ulf Ekelund, yang juga memimpin studi itu.(mr/tar)